Mengapa Kita Perlu Berpuasa?
Alhamdulillah,
Allah swt. telah mempertemukan kita kembali dengan Ramadhan tahun ini,
bulan berkah yang penuh rahmat dan ampunan.
Selama
hidupnya, Rasulullah saw. hanya berpuasa Ramadhan sebanyak 9 kali. Bisa
jadi, puasa Ramadhan kita lebih banyak dari puasa Rasulullah. Nah,
sampai sejauh ini, pernahkah kita bertanya: buat apa sih kita berpuasa? Mumpung kita masih berada pada hari pertama puasa, tidak ada salahnya kita bertanya seperti itu.
Banyak alasan mengapa kita perlu berpuasa. Beberapa di antara alasan itu adalah sebagai berikut.
Pertama, sebagai bentuk self-assesment
(penilaian sendiri) apakah kita termasuk orang beriman atau tidak.
Perhatikan, dalam surat al-Baqarah ayat 183, perintah puasa dimulai
dengan lafaz iman, yaitu Ya ayyuhalladzina amanu – wahai orang
beriman. Hal ini untuk membangkitkan rasa keimanan yang berada di dalam
hati kaum muslim. Jika rasa iman bersarang dalam hati kita, maka seruan
Allah itu akan terasa manis. Jika sebaliknya, maka puasa terasa berat.
Adalah para sahabat Rasulullah yang jika dibacakan kepada mereka ayat yang dimulai dengan lafaz Ya ayyuhalladzina amanu, maka mereka akan pasang kuping. Mengapa? Karena setelah seruan itu, pasti ada sesuatu hal penting yang perlu diperhatikan.
Nah, ayat
puasa juga seperti itu. Jadi, tidak perlu heran dengan orang-orang yang
tanpa malu makan/minum seenaknya di depan umum pada bulan Ramadhan.
Kalaupun ada kaum muslim yang tidak berpuasa karena alasan yang
dibenarkan (seperti sakit, haid, sudah tua) maka mereka hendaknya tidak
melakukannya secara demonstratif. Hormatilah bulan Ramadhan, yang
merupakan salah satu syi‘ar Allah. Orang yang menghormati syi‘ar Allah, tanda hatinya masih menyimpan benih ketakwaan (lihat al-Quran surat al-Hajj ayat 32)
Beruntunglah orang yang menyambut seruan Allah itu dengan sukacita. Itu tanda keimanan masih bersarang di dalam hati.
Kedua,
puasa Ramadhan menanamkan harga diri kita bahwa kita, kaum
Muslim, adalah umat yang paling konsisten menjaga kontinuitas
ajaran-ajaran agama langit. Perhatikan, firman Allah, ‘Telah diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan pula kepada generasi terdahulu’ (al-Baqarah ayat 183).
Ayat ini
mengisyaratkan bahwa ibadah puasa bukanlah ibadah baru, yang hanya
dikhususkan untuk umat muslim. Umat-umat Nabi terdahulu juga dibebani
perintah berpuasa. Begitu pula, umat Yahudi dan umat Nashrani, juga
dibebani perintah berpuasa. Namun, apakah dua umat ini konsisten
menjalankan perintah puasa?
Diriwayatkan dari Hasan al-Bashri rahimahullah,
bahwa ia berkata, ‘Sesungguhnya Allah telah mewajibkan puasa Ramadhan
kepada kaum Yahudi dan Nashrani. Namun, kaum Yahudi meninggalkan puasa
di bulan ini. Mereka hanya berpuasa satu hari dalam satu tahun, yaitu
pada hari Firaun tenggelam dan Bani Israil selamat. Adapun kaum Nashrani
juga melakukan puasa Ramadhan. Namun, pada saat itu udaranya sangat
panas, sehingga mereka mengalihkan puasa Ramadhan itu di bulan lain,
yaitu di bulan Rabi‘ (musim semi). Lalu para rahib mereka mengeluarkan
fatwa, ‘Kita perlu menambahkan puasa 20 hari lagi, sebagai tebusan
terhadap perbuatan kita ini’. Maka, mereka berpuasa selama 50 hari.
Inilah yang dimaksudkan Allah swt, ‘Mereka menjadikan cendekiawan dan para rahib mereka sebagai tuhan tandingan bagi Allah’ (surat at-Tawbah ayat 31)
Bagaimana
dengan kita kaum Muslim? Kita hanya berpuasa satu bulan. Tidak lebih.
Maksimal 30 hari, dan minimal 29 hari. Umat Muslim tidak pernah
mengganti puasa Ramadhan (apakah bersamaan dengan musim panas, semi atau
penghujan) pada bulan-bulan lainnya. Itu artinya kita adalah umat yang
konsisten menjalankan perintah puasa Ramadhan.
Ketiga,
kita perlu berpuasa untuk mengingatkan akan nikmat terbesar dalam hidup
kita, yaitu nikmat turunnya al-Quran, yang membawa prinsip-prinsip
kebahagiaan hidup. Atas dasar itulah, Allah berfirman, ‘Bulan
Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan al-Quran, yang
berfungsi sebagai petunjuk-hidup (hudan) bagi manusia dan penjelasan
(bayyinat) terhadap petunjuk-hidup itu, dan juga sebagai pembeda
(furqan) antara yang benar dan yang salah’ (al-Baqarah ayat 185)
Sesungguhnya,
tidak ada buku yang begitu mencerahkan dan praktis untuk kita amalkan,
kecuali al-Quran. Begitu hebatnya al-Quran, maka tidak heran selalu saja
ada orang-orang yang membuat al-Quran palsu. Namun, keaslian al-Quran
akan terjaga sampai hari Kiamat, karena itu adalah janji Allah swt.
Meskipun demikian, kaum Muslim tetap perlu mempelajari al-Quran dengan
baik. Kata Rasulullah saw., ‘Sesungguhnya Allah mengangkat derajat suat
kaum dengan al-Quran dan menjatuhkan derajat kaum yang lain juga dengan
al-Quran’.
Keempat,
kita perlu berpuasa agar kita tidak memperturutkan ambisi perut dan
kemaluan kita. Sesungguhnya, semua kerusakan di dunia sebagian besar
karena dua ambisi itu.
Imam al-Ghazali rahimahullah berkata,
‘Ketahuilah, sesungguhnya pangkal segala kerusakan bersumber dari
syahwat perut. Dari syahwat perut, muncul syahwat seks. Karena syahwat
perut, Adam keluar dari surga. Karena syahwat perut, orang
berlomba-lomba mengejar dunia secara berlebihan’.
Apakah ada
hubungan antara perilaku konsumtif dengan syahwat perut? Apakah ada
hubungan antara korupsi dengan syahwat perut? Apakah ada hubungan antara
perilaku free sex dengan syahwat kemaluan?
Jawabannya kita sudah tahu.
Nabi Yusuf alayhissalam adalah public figure
yang senang berpuasa, padahal ia berada di puncak kekuasaan. Karena
kebiasaannya ini, banyak orang bertanya, ‘Mengapa Anda masih senang
berpuasa, padahal Anda adalah orang yang menguasai perbendaharaan
negara?’ Yusuf menjawab, ‘Jika aku kenyang, aku takut menjadi lupa
dengan orang-orang lapar’.
Subhanallah… Andai saja para pemimpin kita, mulai dari level lingkungan sampai level kenegaraan, mau mencontoh perilaku Yusuf alayhissalam, maka betapa harmonisnya hidup manusia.
Nah, puasa mengajarkan kita untuk menyeimbangkan dua syahwat itu: syahwat perut dan syahwat seks.
Kelima,
puasa mengajak kita untuk memberikan waktu barang sejenak untuk
membersihkan kotoran-kotoran ruhani kita. Siapakah manusia yang tidak
pernah salah?
Ramadhan adalah training
massal yang mencuci kotoran-kotoran yang menempel di dinding hati kita.
Ramadhan memberi kesempatan kepada kita untuk mendekatkan diri kepada
Allah, curhat kepada-Nya, dan memohon rahmat dan ampunan dari-Nya.
Ramadhan adalah ghayts al-qulub – rintik hujan yang membasahi keringnya hati.
Mudah-mudahan Ramadhan kali ini menjadi salah satu Ramadhan terbaik kita. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar